Chskra.id, Jakarta - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menyoroti tidak selaras penangan korban dan pelaku pada anak dengan semangat perlindungan dalam penerapan UU SPPA di Bekasi
Kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak sebagai korban sekaligus pelaku di Bekasi, Jawa Barat menurut Menteri PPPA Arifah Fauzi menunjukan lemahnya sistem perlindungan dan pemahaman hukum di tingkat daerah, sekaligus menguji sejauh mana negara benar-benar hadir dalam melindungi hak anak.
Dalam pernyataan resminya, Menteri PPPA menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus tersebut, Rabu (11/6/2025).
Menteri PPPA Arifah Fauzi mengaku sangat prihatin atas kasus kekerasan itu. Apalagi kasus itu melibatkan anak sebagai pelaku dan korban. Pihaknya akan terus mengawal proses hukum, memastikan pendampingan psikososial, dan perlindungan berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
”Kita tidak boleh mengabaikan hak atas rasa aman, perlindungan, dan keadilan bagi anak korban yang harus benar-benar dipenuhi. Negara harus berpihak secara tegas kepada korban, sekaligus menjalankan proses hukum terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH) dengan pendekatan yang adil, edukatif, dan tidak diskriminatif,” terang Arifah Fauzi.
Dia mengakui saat ini masih terjadi ketidaksesuaian dalam pelaksanaan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di lapangan. Itu terjadi karena pemahaman dan implementasi terhadap amanat UU SPPA di kalangan aparat penegak hukum maupun petugas layanan perlindungan anak dan masyarakat daerah belum merata.
”Kami mencermati adanya kesenjangan pemahaman di tingkat penerima aduan, baik di kepolisian maupun Dinas PPPA dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA),” kata dia.
Akibatnya, seringkali terjadi miskomunikasi, mispersepsi, dan penanganan laporan yang belum berpihak pada kepentingan terbaik anak. Baik anak sebagai korban, pelaku, maupun saksi. Padahal mereka memiliki hak untuk mendapatkan penanganan dan perlindungan.
”Ini bukan semata kelalaian, tetapi lebih pada kebutuhan akan pelatihan dan pembekalan yang hingga kini memang belum terselenggara merata,” jelasnya.
Saat ini Kemen PPPA bersama Kementerian Hukum (Kemenkum) tengah berkoordinasi secara intensif untuk menyusun dan merampungkan pedoman penyelenggaraan pelatihan pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual. Selain itu, Kemen PPPA bersama Bareskrim Polri akan melakukan asistensi bersama dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan anak.
”Semua anak berhak atas perlindungan dan semua proses hukum harus berkeadilan. Kepentingan terbaik bagi anak, terutama anak korban harus menjadi prioritas utama dalam setiap langkah kebijakan dan penanganan kasus,” tegasnya.
Menteri PPPA menegaskan bahwa negara tidak boleh abai dalam menjamin rasa aman dan keadilan bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Lanjutnya, tak hanya itu, anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) pun harus mendapatkan penanganan secara adil, edukatif, dan tidak diskriminatif, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
“Kita tidak boleh mengabaikan hak atas rasa aman, perlindungan, dan keadilan bagi anak korban. Negara harus berpihak secara tegas kepada korban dan tetap menjalankan proses hukum terhadap anak pelaku dengan pendekatan yang mendidik dan melindungi,” tegas Menteri PPPA.
Menteri PPPA menyoroti adanya ketidaksesuaian dalam penerapan UU SPPA, khususnya dalam menyampaikan informasi kepada korban dan keluarganya.
Selain itu, pelaksanaan hukum di lapangan pun kerap tidak selaras dengan semangat perlindungan anak.
"Salah satu penyebabnya adalah ketimpangan pemahaman di antara para aparat penegak hukum, Dinas PPPA, hingga Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)," ucapnya.
“Kesenjangan pemahaman ini menimbulkan miskomunikasi hingga penanganan yang belum berpihak pada kepentingan terbaik anak. Bukan semata kelalaian, ini mencerminkan kebutuhan akan pelatihan dan pembekalan yang belum merata,” sebut Menteri PPPA.
Menjawab tantangan tersebut, Kemen PPPA bersama Kementerian Hukum dan HAM kini tengah merancang pedoman pelatihan khusus untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual.
Tak hanya itu, Kemen PPPA juga menggandeng Bareskrim Polri untuk memperkuat asistensi di berbagai daerah, guna memastikan penanganan yang menyeluruh dan profesional.
Penerapan proses diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari jalur peradilan ke pendekatan restoratif pun menjadi fokus penting.
Menteri PPPA menggarisbawahi bahwa diversi harus dijalankan sesuai UU SPPA, melibatkan pekerja sosial dan pembimbing kemasyarakatan, serta memperhatikan penelitian sosial (litsos) yang menyeluruh.
“Diversi bukan sekadar pengalihan perkara. Ini adalah mekanisme pemulihan yang harus melindungi hak anak pelaku sekaligus menjamin keadilan dan pemulihan bagi korban,” jelas Menteri PPPA.
Menteri PPPA menegaskan bahwa negara tidak akan memberikan ruang toleransi terhadap segala bentuk kekerasan seksual, khususnya yang melibatkan anak.
Seluruh kebijakan dan tindakan hukum harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak korban.
“Semua anak berhak atas perlindungan dan keadilan. Negara harus hadir penuh dan berpihak pada korban,” tegasnya.
Sebagai bagian dari upaya pencegahan dan penanggulangan kasus serupa, Menteri PPPA mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk tidak ragu melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami, saksikan, atau ketahui.
Laporan bisa disampaikan melalui lembaga-lembaga resmi seperti UPTD PPA, penyedia layanan berbasis masyarakat, serta Kepolisian.
Masyarakat juga dapat mengakses layanan cepat melalui Hotline SAPA 129 atau WhatsApp di 08111-129-129.
Posting Komentar